Search

Merumuskan Kembali Desain Pemilu Kita - Tempo

Bawono Kumoro
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah telah bersepakat memasukkan 50 rancangan undang-undang ke agenda Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Ini termasuk revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Pemilu merupakan landasan hukum bagi dasar pelaksanaan pemilu serentak pada 17 April lalu. Keserentakan pelaksanaan pemilu itu merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi, yang menilai norma pelaksanaan pemilihan presiden setelah pemilihan legislatif tidak sesuai dengan semangat konstitusi.

Namun pemilu tahun lalu menghadirkan berbagai kerumitan dan persoalan tidak terduga. Ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di berbagai daerah meninggal dunia karena kelelahan. Pemilih juga kebingungan ketika harus mencoblos lima kertas suara. Kebingungan itu tecermin dari jumlah suara tidak sah yang mencapai 3,75 juta lebih dalam pemilihan presiden dan 17,5 juta lebih dalam pemilu legislatif.

Hal tersebut memicu rencana memisahkan kembali pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilu legislatif. Apakah kembali memisahkannya merupakan jalan keluar terbaik atau ada pilihan lain yang lebih ideal?

Memisahkan kembali pemilihan presiden dan pemilu legislatif mengabaikan kemungkinan terciptanya pemerintahan terbelah. Pemerintahan terbelah adalah sebuah kondisi politik ketika pejabat eksekutif terpilih tidak memperoleh dukungan politik yang memadai di legislatif karena kekuatan politik yang berkuasa di lembaga eksekutif berasal dari partai berbeda (Cheibub, 2007). Dalam kondisi seperti itu, setiap rancangan kebijakan atau undang-undang dari lembaga eksekutif cenderung akan memperoleh penolakan dari parlemen.

Semangat utama dari pemilu secara serentak adalah menciptakan pemerintahan yang kongruen, yakni pejabat eksekutif terpilih mendapat dukungan politik memadai di lembaga legislatif, sehingga tercipta pemerintahan presidensial yang solid dan efektif. Pemilu serentak pada 17 April lalu adalah contohnya. Partai-partai yang berkuasa di DPR merupakan partai koalisi pendukung pasangan calon presiden terpilih.

Bandingkan dengan pembentukan koalisi ketika pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden masih terpisah. Partai-partai menunggu hasil pemilu legislatif lebih dulu untuk membentuk koalisi menuju pemilihan presiden. Dengan jarak sekitar dua bulan antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden, proses pembentukan koalisi cenderung rumit karena berlangsung secara bertahap. Tahap pertama koalisi adalah sebelum pemilihan presiden dilaksanakan. Adapun tahap kedua koalisi terjadi seusai pemilihan presiden. Terdapat partai di luar koalisi awal yang masuk sebagai anggota baru setelah pasangan calon presiden yang mereka usung kalah dalam pemilihan presiden dan tidak ingin menjalankan peran sebagai oposisi.

Proses seperti itu akan menciptakan koalisi pemerintahan yang cenderung rapuh dan tidak solid. Partai yang pertama kali bergabung merasa berhak mendapatkan porsi kursi di kabinet lebih besar. Sementara itu, partai lain, meskipun bergabung belakangan, juga merasa memiliki hak serupa. Apalagi bila partai tersebut memiliki kursi cukup dominan di parlemen. Perilaku politik seperti itu ditunjukkan oleh Partai Golkar pada periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Karena itu, memisahkan kembali pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilu legislatif bukanlah pilihan bijak. Selain itu, pemisahan tersebut mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi. Hal penting yang justru harus dipikirkan dan dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam merevisi Undang-Undang Pemilu adalah menciptakan sebuah desain pemilu yang memudahkan pemilih, peserta, dan penyelenggara pemilu sekaligus mengantisipasi kehadiran kembali pemerintahan terbelah.

Dalam konteks itulah gagasan untuk melaksanakan pemilu serentak berdasarkan level pemerintahan sangat penting untuk dipertimbangkan. Pemilu serentak yang dimaksudkan adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Pemilu serentak nasional ditujukan untuk memilih presiden serta anggota DPR dan DPD. Adapun pemilu serentak daerah dilakukan untuk memilih kepala daerah serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksanaan keduanya tidak dilangsungkan pada tahun yang sama. Pemilu serentak daerah dilaksanakan dua hingga tiga tahun setelah pemilu serentak nasional.

Selain dapat menghindarkan dari pemerintahan terbelah, hal ini dapat menghadirkan sejumlah hal positif. Pertama, beban manajemen penyelenggaraan pemilu menjadi lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban berlebih sebagaimana pemilu pada 17 April lalu. Kedua, pemilih akan lebih mudah menentukan pilihan karena dihadapkan pada pilihan calon pejabat publik di level nasional saja atau di level daerah. Ketiga, isu-isu kampanye yang mengemuka dan menjadi pembahasan di ruang publik akan lebih terfokus. Saat pemilu serentak nasional, isu-isu nasional akan lebih mengemuka. Begitu pun ketika pemilu serentak daerah diselenggarakan, isu-isu daerah akan lebih mendominasi ruang publik.

Let's block ads! (Why?)



"kembali" - Google Berita
January 08, 2020 at 08:12AM
https://ift.tt/2R1CKlY

Merumuskan Kembali Desain Pemilu Kita - Tempo
"kembali" - Google Berita
https://ift.tt/2llnJPO

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Merumuskan Kembali Desain Pemilu Kita - Tempo"

Post a Comment

Powered by Blogger.